Halalnya Apel Merah Yang terjatuh


Seorang pemuda sholeh bernama Tsabit bin Ibrahim sedang berjalan di pinggiran kota Kufah (Irak). Tiba-tiba ia melihat Sebuah apel terjatuh di sebuah kebun buah-buahan.  Apel merah ranum itu, telah membuat Tsabit khilaf dan lupa diri, apalagi ketika itu cuaca lagi panas-panasnya ditambah kondisi Tsabit yang sedang lapar dan haus. Karena barusan menempuh perjalanan yang teramat jauh. 

Maka tanpa berfikir panjang dipungut dan dimakanlah buah apel yang lezat itu, akan tetapi baru setengahnya di makan dia teringat bahwa buah itu bukan miliknya dan dia belum mendapat izin pemiliknya. Maka ia pun segera masuk ke dalam kebun buah-buahan itu hendak menemui pemiliknya, untuk menghalalkan buah yang telah dimakannya. 

Di kebun itu ia tidak bisa bertemu dengan pemilik kebun tapi hanya bertemu dengan pembantunya, Tsabit pun bertekad akan pergi menemui si pemilik kebun, meskipun rumahnya jauh. Aku telah memakan apel yang tidak halal bagiku karena tanpa izin pemiliknya. Setelah menempuh perjalanan hampi seharian lamanya. Akhirnya, Tsabit pun menemukan rumah pemilik kebun apel dan langsung mengetuk pintu. Setelah si pemilik rumah membukakan pintu, Tsabit langsung memberi salam dengan sopan, seraya berkata, "Wahai tuan yang pemurah, saya sudah terlanjur makan setengah dari buah apel tuan yang jatuh. Karena itu maukah tuan menghalalkan apa yang sudah aku makan itu?" 

Lelaki tua pemilik kebun diam sejenak, mengamatinya dengan cermat. Lalu pemilik kebun pun berkata, "Tidak...!!! aku tidak akan menghalalkannya kecuali dengan satu syarat." Apa syarat itu tuan???.  Orang itu menjawab, "Engkau harus mengawini putriku !" baru aku halalkan apel itu untukmu.

Tsabit pun keheranan dan bertanya "Apa karena hanya makan setengah dari buah apelmu yang terjatuh, aku harus mengawini putrimu?" Pemilik kebun menambahi "Tidak hanya itu, sebelum pernikahan dimulai kamu harus tahu dulu kekurangan-kekurangan putriku. Sesungguhnya putriku  seorang putri yang buta, bisu, tuli dan lumpuh!" 

Tsabit bin Ibrahim amat terkejut dan sedih mendengar keterangan si pemilik kebun. Dia berfikir dalam hatinya, apakah perempuan seperti itu patut dia persunting sebagai isteri. Hanya gara-gara setengah buah apel yang terlanjur aku makan?. Kemudian pemilik kebun menegaskan lagi, "Selain syarat itu aku tidak akan menghalalkan apa yang telah kau makan !" 

Tsabit pun menjawab dengan mantap, "Aku akan menerima putrimu sebagai istriku. Karena aku berharap Allah meridhaiku dan mudah-mudahan aku dapat meningkatkan kebaikan-kebaikanku di sisi Allah Ta'ala".

Maka pernikahan pun dilaksanakan, lengkap dengan walimahnya. Sesudah perkawinan selesai, Tsabit dipersilahkan masuk ke kamar untuk menemui isterinya. Ketika hendak masuk kamar pengantin, dia tetap mengucapkan salam walaupun ia tahu kalau isterinya tuli dan bisu, karena ia tahu malaikat Allah yang berkeliaran dalam kamarnya tentu tidak tuli dan bisu juga. Maka Tsabit pun tetap mengucapkan salam, "Assalamu"alaikum..."  Tak disangka isterinya itu menjawab salamnya dengan baik. Ketika Tsabit masuk hendak menghampiri wanita itu, dia pun mengulurkan tangan untuk menyambut tangannya. 

Sekali lagi Tsabit heran sekaligus terkejut menyaksikan kenyataan ini. "Kata ayahnya dia wanita tuli dan bisu tetapi ternyata dia menjawab salamnya dengan baik. Jika demikian berarti wanita yang ada dihadapanku ini dapat mendengar dan tidak bisu. Ayahnya juga mengatakan bahwa dia buta dan lumpuh tetapi ternyata dia menyambut kedatanganku dengan ramah dan mengulurkan tangannya dengan mesra pula", Kata Tsabit bin Ibrahim dalam hatinya. 

Setelah Tsabit duduk di samping isterinya, ia bertanya, "Ayahmu mengatakan kepadaku bahwa engkau buta, mengapa?" Istrinya pun menjawab, "Ayahku benar, karena aku tidak pernah melihat apa-apa yang diharamkan Allah". 

Tsabit bin Ibrahim bertanya lagi, "Ayahmu mengatakan bahwa engkau tuli, mengapa?"  Istrinya pun menjawab, "Ayahku benar, karena aku tidak pernah mau mendengar berita dan cerita orang yang tidak membuat ridha Allah. 

"Ayahku juga mengatakan kepadamu bahwa aku bisu dan lumpuh, bukan?" Tanya istrinya itu kepada Tsabit bin Ibrahim yang kini sah menjadi suaminya. Tsabit pun mengangguk perlahan mengiyakan pertanyaan isterinya. Selanjutnya istrinya menjelaskan, "aku dikatakan bisu karena aku hanya menggunakan lidahku untuk menyebut asma Allah Ta'ala saja". Aku juga dikatakan lumpuh karena kakiku tidak pernah pergi ke tempat-tempat maksiat yang menyebabkan murka Allah. 

Tsabit bin Ibrahim teramat bahagia mendapatkan isteri solehah yang cantik jelita bagai bulan purnama yang senantiasa memelihara dirinya. Dengan bangga ia berkata tentang isterinya, "Ketika kulihat wajahnya... Subhanallah, dia bagaikan bulan purnama di malam yang gelap". 

Tsabit bin Ibrahim dan isterinya yang salihah dan cantik itu hidup berbahagia. Tidak lama kemudian mereka dikaruniai seorang putra yang ilmunya memancarkan hikmah ke seluruh penjuru dunia, Beliau adalah Al Imam Abu Hanifah An Nu'man bin Tsabit.

imammukhtar

Kepala Madrasah di MA PPKP Darul Ma'la

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan 4

Iklan 6

Contact Form